Ijime (いじめ / 苛め) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bullying di Jepang. Ini adalah fenomena kompleks yang melibatkan penyalahgunaan fisik, verbal, dan psikologis, yang sering kali memiliki konsekuensi serius dan berkepanjangan. Meskipun bullying merupakan masalah global, Ijime memiliki karakteristik spesifik yang mendalam terbenam dalam budaya Jepang, di mana tekanan untuk mematuhi norma dan pencarian harmoni sosial dapat mengubah perbedaan menjadi sesuatu yang berbahaya.
Berbeda dengan bagian lain di dunia, di mana pelaporan bullying lebih sering terjadi, di Jepang, para korban sering menderita dalam diam. Ketakutan untuk menonjol atau "menjadi masalah" membuat banyak orang tidak mencari bantuan. Ini menjadikan Ijime sebagai masalah yang sering kali diremehkan atau diabaikan, tetapi yang konsekuensinya bisa menjadi menghancurkan.
Indeks Konten
"Derukui wa Utareru": Tekanan untuk Konformitas
Ekspresi Jepang “Derukui wa Utareru” (出る杭は打たれる), yang diterjemahkan sebagai “Paku yang menonjol akan dipukul”, menggambarkan budaya kepatuhan Jepang. Menjadi berbeda bisa menjadikan siapa pun sebagai target, baik di sekolah, di tempat kerja, maupun di ruang sosial lainnya. Ijime tidak terbatas pada sekolah; kasus juga terjadi di lingkungan korporat dan bahkan dalam komunitas, mencerminkan masyarakat yang menghukum mereka yang tidak cocok.
Pelajar yang menunjukkan perilaku unik, baik akademis, budaya, atau bahkan fisik, seringkali menjadi sasaran. Ini termasuk tidak hanya mereka yang memiliki karakteristik perbedaan yang terlihat, seperti pelajar dari budaya lain atau yang tidak menguasai bahasa Jepang, tetapi juga siapa saja yang menonjol dengan cara tertentu. Sayangnya, guru dan anggota administrasi sekolah lainnya tidak selalu campur tangan dengan tepat, dan ada laporan bahwa beberapa bahkan memperkuat dinamika penyalahgunaan.
Sasaran Ijime biasanya menghadapi pilihan yang mustahil: beradaptasi dan mencoba menghilang di kerumunan atau tetap menjadi diri sendiri dan mempertaruhkan isolasi serta agresi. Budaya konformitas menciptakan lingkungan di mana perbedaan dilihat sebagai ancaman, yang mengarah pada siklus sulit untuk diputuskan.
Pentingnya Komunikasi dan Peran Orang Asing
Salah satu hambatan utama yang dihadapi oleh orang asing yang tinggal di Jepang adalah komunikasi. Kemampuan berbicara bahasa Jepang dapat membuat perbedaan besar dalam integrasi sosial dan pemahaman budaya. Namun, kurangnya kemampuan ini menciptakan kekosongan yang sering memicu Ijime. Siswa asing dapat diperlakukan sebagai "outsiders" dan menjadi korban yang mudah karena kesalahpahaman atau prasangka.
Meskipun orang Jepang sering digambarkan sebagai sopan dan ramah, kualitas-kualitas ini dapat dengan cepat menghilang di lingkungan di mana tekanan sosial cukup besar. Setelah periode awal sambutan, perbedaan bahasa dan budaya menjadi lebih jelas, terutama bagi pelajar di sekolah-sekolah Jepang, yang sering merasakan beban keterasingan dan prasangka.
Sekolah dan tempat kerja telah berusaha menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, tetapi masih ada jalan panjang yang harus dilalui. Integrasi mahasiswa dan profesional asing membutuhkan lebih dari sekadar niat baik; memerlukan program pendidikan yang kuat dan kebijakan inklusi budaya yang secara aktif melawan Ijime. Di lingkungan di mana langkah-langkah ini tidak diterapkan, korban dapat mengalami kerusakan psikologis yang mendalam.
Konsekuensi Menghancurkan dari Ijime
Dampak dari Ijime seringkali parah, mempengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan fisik para korban. Luka psikologis dapat bertahan bertahun-tahun, dan banyak yang mengembangkan gangguan seperti depresii, kecemasan, dan bahkan gangguan stres pasca trauma. Kasus-kasus Ijime yang terdokumentasi mencakup kisah-kisah yang mengganggu, seperti seorang guru yang dipaksa makan kapur oleh murid-muridnya, yang menggambarkan tingkat keb brutalitas yang dapat dicapai.
Dalam kasus ekstrem, Ijime dapat mengarah pada isolasi total. Fenomena hikikomori, di mana individu menarik diri dari masyarakat dan menghabiskan bertahun-tahun tanpa keluar dari kamar mereka, sering kali terkait dengan bullying. Ketakutan dan rasa malu menghalangi korban untuk mencari bantuan, menciptakan siklus penderitaan yang sepertinya tidak ada habisnya.
Bunuh diri adalah konsekuensi tragis dari Ijime. Meskipun Jepang telah mengurangi tingkat bunuh diri dalam dekade terakhir, perundungan tetap menjadi salah satu faktor utama yang membuat para remaja mengambil keputusan drastis. Stigma dan tekanan sosial menciptakan lingkungan di mana meminta bantuan dianggap sebagai tanda kelemahan, yang hanya memperburuk masalah. Antara April dan September 2012, misalnya, lebih dari 144 ribu kasus Ijime dilaporkan, dengan ratusan dianggap sangat serius, menunjukkan betapa besarnya masalah ini.
Peny滥gunaan Kekuasaan: "Power Hara" dan Pelecehan Akademik
Ijime tidak terbatas pada sekolah; pelecehan di tempat kerja, yang dikenal sebagai “power hara” (パワーハラスメント), juga cukup umum. Jenis penyalahgunaan kekuasaan ini terjadi ketika bos atau rekan yang lebih senior menggunakan otoritas mereka untuk mengintimidasi atau mempermalukan bawahan. Ini termasuk agresi verbal, pengecualian sosial, dan penetapan tugas yang memalukan atau tidak praktis.
Jepang telah menghadapi kritik internasional atas kurangnya tindakan terhadap pelecehan di tempat kerja. Pada tahun 2019, Undang-Undang Pencegahan Pelecehan Kekuasaan diperkenalkan untuk melindungi pekerja dan memberlakukan hukuman yang lebih ketat. Namun, perubahan tersebut masih baru, dan budaya perusahaan Jepang masih menghadapi tantangan untuk memberantas praktik penyalahgunaan kekuasaan.
Pelecehan akademik, yang dikenal sebagai “AkaHara” (アカハラ), juga merupakan masalah yang memprihatinkan. Dosen universitas, misalnya, dapat memaksa mahasiswa untuk melakukan tugas pribadi, mencuri penemuan ilmiah mereka, atau menghalangi kemajuan akademik bimbingan mereka. Praktik-praktik abusif ini tidak hanya merugikan karir korban, tetapi juga mempengaruhi integritas penelitian ilmiah dan pendidikan tinggi.
Melawan Ijime: Jalan ke Depan
Mengatasi Ijime dan bentuk pelecehan lainnya di Jepang memerlukan upaya kolektif. Berbicara dengan anak-anak dan remaja, menciptakan kebijakan toleransi nol di sekolah dan perusahaan, serta mendorong pelaporan penyalahgunaan adalah langkah-langkah penting. Sementara perjuangan melawan perundungan adalah tanggung jawab global, Jepang perlu menangani keunikan budaya yang membuat masalah ini lebih menantang.
Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal adalah korban Ijime, segera cari dukungan. Berbicara dengan teman, keluarga, atau profesional kesehatan mental dapat membuat perbedaan besar. Perubahan dimulai ketika masing-masing dari kita berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan menghormati untuk semua.